Jumat, 19 Agustus 2011

Cara Allah mengajari kita - Lesson learnt #4

Lesson learnt #4: Sosok tua penuh cahaya

“Rabbighfir lii waliwaa lidayya warhamhumaa kamaa rabbayaanii shaghiiraa”

Merasa familier dengan do'a di atas? Ya, anda benar. Do'a di atas sering kita lantunkan sebagai do'a kepada kedua orang tua. Do'a tersebut memiliki arti yang sangat indah, “Ya Tuhanku, ampunilah aku dan kedua orang tuaku, dan sayangilah mereka sebagaimana mereka telah memeliharaku sewaktu aku kecil.” Saya menggaris bawahi penggalan "sewaktu aku kecil".

Saat itu jam menunjukkan pukul 05.30 pagi. 

Saya terbangun mendengar gemerisik suara dari bawah tempat tidur, perlahan saya membuka mata dan sontak diserbu oleh deraan rasa nyeri dari tangan kanan saya yang baru dioperasi. Tampak mamak saya sedang merapikan barang-barang, melipat kain dan memasukkannya ke dalam tas. Dengan sweater hitamnya, mamak sudah rapi, siap untuk pulang ke rumah. Mengetahui saya sudah terjaga, mamak segera mengusap kepala saya dan mengatakan bahwa ia akan pulang sebentar ke rumah, memasak bubur untuk saya dan menyiapkan makanan ayah di rumah. Lalu insya Allah ia akan kembali sekitar pukul 8 dan bergantian jaga dengan suami saya yang nanti harus berangkat kerja. Dengan bismillah ia langkahkan kaki tuanya menuju pangkalan becak di pelataran parkir rumah sakit.

Air mata saya mengalir tatkala membayangkan bahwa mamak harus menuruni tangga dari lantai 3 tempat saya dirawat (lift rusak), lalu ia harus menerpa dinginnya udara subuh sepanjang perjalanan menuju rumah, setibanya di rumah ia harus memasak, membersihkan rumah, menyiapkan segala keperluan ayah, lalu kembali lagi ke rumah sakit dan menaiki tangga yang sama hingga tiba ke kamar saya. Hal ini dilakukannya setiap hari selama 9 hari rawatan saya. Diusianya yang ke 65 tahun, saya tahu bahwa tubuh tuanya tak lagi prima, radang sendi (rheumatoid arthritis dan osteoartritis) sudah lama menyerang, kemampuan paru dan jantung yang semakin menurun juga telah tampak, namun ia selalu tersenyum dan menyembunyikan sakitnya. Seringkali saya melihatnya duduk sambil terengah-engah usai menaiki tangga, namun seperti biasa, ia tetap tersenyum.

Air mata saya mengalir semakin deras saat memikirkan ayah yang sudah renta. Usianya 71 tahun, kondisi tubuh yang sudah melemah membuatnya tak mampu naik tangga rumah sakit untuk menjenguk saya. Pernah suatu kali ayah datang menjenguk, namun sesak napas langsung menyerang, maka kami tak lagi mengizinkan ayah untuk datang, biarlah ayah mendoakan dari rumah. Bukankah doa adalah senjata orang mukmin? Dan saya merasakan kiriman doa itu. Usapan tangan ayah dan doa di kening saya menyiratkan berjuta kata sayang yang tak terucap olehnya. Memang ayah tidak pandai membuai dengan kata-kata sayang seperti yang dilakukan mamak, memang ayah tidak membuat bubur atau merawat saya seperti yang mamak lakukan, tapi saya tahu bahwa rasa sayang ayah tidak pernah kurang dari rasa sayang yang mamak miliki.

Saya pun teringat kepada mertua saya. Alangkah sayangnya Allah kepada saya sehingga memberikan saya mertua yang sangat penyayang. Mertua saya berada di kota Lhokseumawe, kota yang berjarak tempuh sekitar 6 jam dengan perjalanan darat. Saat kabar operasi saya yang pertama, Bunda mertua saya langsung berangkat dengan menggunakan mobil angkutan umum, padahal baru beberapa hari sebelumnya saya menelepon dan mengetahui bahwa kondisinya sedang kurang sehat. Begitu pula saat operasi saya yang kedua, bunda dengan segera hadir, padahal saya tahu bunda selalu mabuk kendaraan dalam perjalanan darat, tapi ia tetap datang dan merawat saya. Ayah mertua saya yang tidak bisa datang juga tak henti-henti menelepon suami menanyakan kabar saya.

Duhai Allah....Sungguh bercahaya sosok-sosok tua itu....

Manusia berkembang menuju kedewasaan sesuai dengan tahapannya masing-masing. Saya ingat benar masa-masa pra sekolah (balita) adalah masa-masa dimana kita sangat bergantung kepada orang tua. Beranjak sekolah dasar, kita mulai belajar memiliki banyak teman yang beragam, meski masih sangat bergantung dengan orang tua namun sudah ada "kontaminasi" teman dalam hidup kita. Saat remaja (ABG) di bangku SMP dan SMA "kontaminasi" tersebut yang diperparah dengan proses pencarian jati diri membuat hubungan kita mulai renggang dengan orang tua. Merasa sudah besar, sudah memiliki banyak teman, mampu mengurus diri sendiri (meski masih dibiayai oleh orang tua) banyak orang yang mulai merasa lebih nyaman berada di dekat teman-teman daripada bersama orang tua. Saat kuliah, kemandirian yang semakin terbentuk (apalagi bagi sebagian orang yang tidak lagi tinggal dengan orang tua; kost,etc) dan kemampuan intelektual yang mungkin sudah melebihi orang tua menjadikan hubungan dengan orang tua semakin renggang. Lalu lanjut pada fase bekerja, menikah, memiliki anak, dan seterusnya. Entah mengapa saya melihat fenomena dimana banyak orang yang semakin bertambah usianya maka makin bertambah pula kerenggangannya dengan orang tua. Mereka mengaku sayang kepada orang tuanya, namun hanya berbicara 2 kali dalam setahun, itupun via telepon saat hari raya. Mereka mengaku tak pernah lupa kepada orang tuanya meskipun berada di perantauan, orang tua selalu berada di hati, tapi kabar bahwa orang tuanya sedang sakit justru diketahui dari sanak family yang mengabarkan. Ingatkah kapan terakhir kali anda memeluk ibu atau ayah anda? Masih ingatkah anda dengan bau khas tubuhnya? tahukah anda ada sejumlah kerutan dan bercak cokelat khas penuaan yang kini menghiasi wajah mereka? Jangan kaget, banyak orang yang akan menjawab "tidak" untuk ketiga pertanyaan diatas. 

Arrrghhhhh......mengapa harus ada fenomena seperti ini?

Saat saya menjalani kedua operasi saya, Allah semakin menyadarkan saya bahwa kasih sayang kedua orang tua tak pernah mengenal kata pensiun. Usia saya 26 tahun, jelas saya bukanlah anak kecil lagi, saya sudah menjadi dokter dan sudah menikah. Namun orang tua saya tetap memelihara dan merawat saya. Kita mungkin merasa sudah dewasa, tapi di mata orang tua, kita adalah tetap anak kecil mereka, yang mereka lihat pertumbuhannya dari bayi, yang mereka basuh kotorannya, yang mereka ajarkan berjalan, berbicara, bernyanyi, yang mereka hapus air matanya, yang mereka lindungi dari gigitan nyamuk, yang mereka rela bergadang demi meninabobokan hingga tertidur, yang ayah rela pulang malam untuk membawa pulang rezeki demi ketersediaan makananmu, yang mereka rela tidak membeli obat untuk sakit mereka demi terbayarnya SPP sekolahmu, yang mereka selalu bermunajat kepada Allah setiap malam demi memohon agar Allah selalu menjagamu dimanapun engkau berada dan apapun yang engkau kerjakan. Itulah mereka, orang tua mu. 

Orang tuamu masih menyayangimu. Tak pernah sedikitpun namamu terhapus dari hati mereka. Jika mereka marah kepadamu, biarkan saja! Bukankah dulu mereka tetap tersenyum saat membasuh kotoranmu yang sangat bau? 

Meski kini engkau sudah dewasa, orang tuamu masih mau memeliharamu. Namun kini, dengan segala keterbatasan usia senja mereka, bukankah engkau yang seharusnya memelihara mereka? Bahkan, jika kini mereka sudah tiada, bukankah tak sepatutnya engkau melupakan do'a untuk mereka di setiap shalatmu?

Diriwayatkan dari Anas ra,
"Telah datang seorang wanita kepada Aisyah ra dengan membawa dua anak, maka Aisyah memberi tiga butir kurma, dan wanita itu memberikan kepada kedua anaknya masing-masing sebutir kurma, sedangkan yang sebutir lagi untuk dirinya. Lalu kedua anak itu memakan kurma tersebut. Tak lama kemudian kedua anak itu melihat lagi kepada ibunya, maka sang ibu segera membelah kurmanya dan membaginya lagi kepada dua anaknya masing-masing setengah." kemudian datanglah Nabi SAW dan Aisyah menceritakan kejadian ini. Rasulullah menimpali dengan bersabda, "lalu apakah yang mengherankan kamu dari kejadian ini. Sungguh Allah telah merahmatinya dengan rasa kasih sayangnya kepada kedua anaknya." (HR. Bukhari)

Shalat dan do'akanlah orang tuamu, pintalah Allah agar selalu menyayangi keduanya.   
“Rabbighfir lii waliwaa lidayya warhamhumaa kamaa rabbayaanii shaghiiraa”

Jumat, 17 Juni 2011

Cara Allah mengajari kita - Lesson learnt #3

Lesson learnt #3: Ternyata ia seorang arjuna

Candle light dinner, buket mawar, lagu romantis, pangeran tampan berkuda putih berlutut memohon cinta.....ah...para wanita di dunia ini sedang diserbu 'keromantisan' dari berbagai arah....media tak diragukan lagi merupakan alat yang sangat ampuh membentuk pola pikir seseorang. Bayangkan, berapa omset industri "romantis" di dunia ini, tentu angkanya beyond our imagination, sangat banyak!

Adalah sudah fitrahnya para wanita diciptakan Allah dengan sifat yang penuh kelembutan, oleh karenanya 'kami' tentu sangat menyukai hal-hal yang lembut dan romantis. Paparan media sejak usia dini membuat banyak wanita yang mengharapkan kelak ia akan bertemu dengan 'prince charming' dalam suasana yang seromantis mungkin. Kami suka hal-hal yang bersifat romantis. Masalahnya adalah, definisi romantis ditentukan oleh media, harus lagu, harus buket bunga, harus dansa, dan banyak lainnya....

Apakah fenomena di atas terjadi pada diri saya? Tentu saja. Bukankah saya juga seorang wanita? Hahaha... Dulu, jauh sebelum menikah, saya pernah berfikir kira-kira suami saya kelak akan memiliki sifat seperti apa? Apakah ia romantis? Tegas? Dingin? Saya paham benar bahwa hal tersebut merupakan rahasia Allah. Maka, pada tiap do'a saya terselip bait "duhai Allah, jodohkanlah hamba dengan seseorang yang terbaik bagi hamba menurut Engkau ya Rabb. Engkau Maha mengetahui segala sesuatunya, dan hamba berserah diri kepadaMu". 

Seiring bertambahnya usia, saya pun pernah berfikir, alangkah bahagianya jika suami saya kelak memiliki sifat seperti Rasulullah, namun jika ia memiliki sifat seperti Umar bin Khattab sang sahabat Rasul, maka itupun dapat sangat membahagiakan saya. Umar bin Khattab adalah seorang shalih yang terkenal akan sifatnya yang penuh keteguhan dan ketegasan, pembela kebenaran di garda depan, bersemangat, disegani lawan, dan lain-lain..

Hari berganti hari, tahun berganti tahun. Akhirnya, tiba juga bagi saya hari yang telah dipersiapkan Allah:  "Apabila seseorang melaksanakan pernikahan, berarti telah menyempurnakan separuh agamanya, maka hendaklah ia menjaga separuh yang lain dengan bertaqwa kepada Allah" (HR. Baihaqi dari Anas Bin Malik)

Allah adalah sebaik-baik pembuat rencana. Tahukah anda, Allah mengabulkan bersitan hati saya tatkala dulu masih melajang. Allah menikahkah saya dengan seorang laki-laki yang dikenal orang akan sifat keteguhan dan ketegasannya, bahkan terkadang acapkali terkesan 'pemberontak', khas jiwa aktifis saat kuliah. Allah menghadirkan "Umar" dalam kehidupan saya.

Masih ingat dengan pembahasan saya mengenai impian romantis para wanita? yah, saya harus berlapang dada bahwa suami saya bukanlah pangeran yang membawakan bunga mawar, tak ada candle light dinner, apalagi dansa. Selama 4 tahun pernikahan kami, dibalik ketegasan yang dipancarkannya, saya merasakan bahwa suami saya memiliki cinta yang begitu besar kepada saya. Ia tak pintar membuai kata-kata romantis, tapi ia tak pernah lupa mengecup saat berangkat dan pulang bekerja. Ia tak pintar berdansa, tapi ia siap membelikan apa saja yang saya butuhkan. Ia tak membawa bunga mawar, namun peluh di bajunya menjelaskan perjuangannya mencari nafkah bagi saya.

Terkadang rasa rindu akan keromantisan kembali hadir, dan saya meminta suami untuk bersikap romantis seperti di film-film. Ia ingin, tetapi ia tidak bisa. Saya pun menghibur diri dengan bersyukur kepada Allah bahwa suami saya adalah pribadi yang sangat baik, tak mengapa jika ia tak romantis.

Allah membuka hati saya saat operasi pertama terjadi. Saat dokter kandungan menginstruksikan untuk segera operasi, hati saya hancur remuk, buah cinta kami harus direlakan pergi, air mata saya pun tumpah ruah dengan hebatnya. Namun suami saya menampilkan ekspresi tegar dan berusaha menghibur, tapi saya tahu ia pun merasakan kesedihan yang sama. Ia terus menemani saat operasi (ia diperbolehkan masuk ke ruang operasi). Di ruang rawat inap, kondisi saya yang masih lemah dan kesakitan pasca operasi membuatnya tak beranjak jauh dari sisi saya. Ia suapi makan dan minum, ia hibur saya, memapah ke kamar mandi, ia lakoni semuanya. Tetap, ia belum bisa membuai saya dengan kata-kata romantis, tapi kini rasanya hal tersebut tak begitu penting lagi.

Dua hari sebelum saya mengalami kecelakaan, suami saya memperdengarkan suatu lagu yang ternyata selama 2 minggu terakhir sering diputarnya. Ia hanya mengatakan "ini ada sebuah lagu bagus, pasti adek suka mendengarnya", dan ia pun menghidupkam MP3 player. Lagu tersebut berjudul "for the rest of My Life" by Maher Zain (http://www.youtube.com/watch?v=Plkq0sd-n54). Begini lirik chorusnya:

For the rest of my life
I`ll be with you
I`ll stay by your side honest and true
Till the end of my time
I`ll be loving you. loving you
For the rest of my life
Thru days and night
I`ll thank Allah for open my eyes
Now and forever I I`ll be there for you
I know that deep in my heart

Melambung tinggi perasaan saya saat itu! Makna dari bait-bait lagu itu seakan benar-benar merupakan representasi dari perasaannya kepada saya. Saya adalah pribadi yang mudah tersentuh, maka air mata itupun mengalir. Berulang-ulang kami putar lagu itu selama 2 hari.

Saat kecelakaan terjadi, raut kepanikan sangat tampak di wajah suami saya, namun ah...lagi-lagi ia menampilkan sikap tenang dengan senyum tulus sembari mengusap kepala saya dan membisikkan agar saya sabar. Kali ini ia juga ikut serta ke dalam ruang operasi. Hingga sesaat sebelum saya terbius, ia masih berusaha menghibur saya. Pasca operasi, kedua tangan saya tidak bisa difungsikan optimal, tangan kanan saya dibalut mitela (gendongan tangan), sedangkan tangan kiri saya terpasang infus, maka praktis saya sangat bergantung dengan orang lain di sekitar saya. Suami saya pun kembali mengambil peranan besar. Ruang rawat saya berada di lantai 3, lift rusak, maka selama 9 hari ia harus bolak balik turun naik tangga untuk mengurus berbagai keperluan. Meski lelah, ia tetap mengurusi saya, makan, minum, bahkan urusan 'kamar mandi', semua ia lakoni dengan sabar. Ia tidak mengerti mengenai berbagai 'urusan wanita', mulai dari mengikat rambut dan lain sebagainya. Meski tertatih, ia tetap berusaha memberikan servis yang maksimal, versinya. Meski tidurnya tak nyenyak karena harus mengontrol cairan infus, atau bolak-balik memapah saya ke kamar mandi, tetapi ia tetap bersabar. Sering saat saya terbangun di tengah malam karena nyeri, saya perhatikan suami saya yang sedang tertidur di sofa. Ia tampak sangat letih, raut wajahnya begitu tulus, dan saya pun berdo'a kepada Allah agar menaikkan derajatnya atas semua kesabaran yang dimilikinya, dan agar mempersatukan kami di syurgaNya. Amiin...

Nah...pelajaran apa yang bisa kita petik kali ini? Bahwa benar Allah Maha mengetahui yang terbaik bagi hambaNya. Bahwa Allah akan memberikan yang kita butuhkan, bukan yang kita inginkan.

Bagi para istri, cintailah suamimu. Cintai ia lebih dari sebelumnya. Ia mungkin tak akan membuka jasnya dan menggelar di genangan air agar engkau bisa melewatinya, tapi ia akan berpeluh mencari nafkah demi sesuap nasi yang engkau makan. Ia mungkin tak akan memberimu kado merah jambu dengan pita love besar, tapi ia akan menahan pengeluarannya untuk makan demi membelikan sebutir apel yang engkau minta. Ia mungkin tak akan mengajakmu candle light dinner, tapi ia sertakan namamu selalu dalam tiap do'anya. Ia mungkin terkadang bersikap ketus kepadamu, tapi ia bersikap begitu karena sedang susah memikirkan jalan keluar dari permasalahan yang muncul di keluargamu. Ia mungkin tak akan menuliskan surat cinta kepadamu, tapi tahukah engkau penyebab kulitnya berwarna tak secerah dulu, terik matahari. Ia mungkin tak akan membuat surprise party-menutup matamu dan membawamu ke sebuah taman romantis di pinggir danau, tapi ia akan menahan rasa sakit yang mendera tubuhnya agar engkau tidak merasa cemas, bahkan ia akan menghiraukan rasa sakitnya demi mengurangi rasa sakit yang mendera tubuhmu. Ia mungkin tak seganteng para bintang idola, tapi ia tetap mengecupmu dengan penuh cinta di setiap pagi saat wajah dan rambutmu acak-acakan. Cintai ia lebih, maka ia akan mencintaimu lebih. Dan berdo'alah kepada Allah agar kalian tetap saling mencintai karena Allah. Semoga Allah menjadikan kita dan suami pasangan di dunia dan pasangan di syurga kelak. Amiin...

Bagi para wanita yang belum menikah, berdo'alah. Bukankah do'a adalah senjata orang mukmin? Yakinlah bahwa Allah sedang mempersiapkan skenario yang indah bagimu. Indah pada waktunya. Allah maha mengetahui yang terbaik bagi dirimu. Maka, berdo'a dan berdoa.

"Dan diantara tanda-tanda kekuasanNya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadaNya, dan dijadikanNya di antaramu rasa cinta kasih dan sayang. Sesungguhnya yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir." (QS. Ar-Rum:21)

"Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu: jika kalian menginginkan kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah kuberikan kepadamu mut'ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik. Dan jika kalian menghendaki (keridhaan) Allah dan RasulNya serta kesenangan di negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa saja yang berbuat baik diantaramu pahala yang besar." (QS. Al-Ahzab:28-29)

Jika saya ditanya "apakah suami anda seorang yang romantis?", saya akan menjawab "tentu saja, suami saya adalah orang yang romantis, dengan caranya sendiri."

ps: suamiku, terima kasih cinta, engkau matahari di hatiku.

Selasa, 14 Juni 2011

Cara Allah mengajari kita - Lesson learnt #2

Lesson learnt #2 : Bersahabat dengan Qadha' & Qadar

Dua puluh enam tahun bukanlah masa yang singkat untuk mengetahui suatu hal yang diulang secara terus menerus. Sejak kecil saya sudah diajarkan bahwa salah satu rukun iman adalah percaya kepada Qadha' dan Qadar. Pemaknaan terhadap hal ini yang melekat di benak saya sejak kecil adalah kita harus percaya kepada takdir yang telah Allah atur, baik maupun buruk. Apakah anda sepakat jika saya mengatakan 'mengetahui' berbeda dengan 'memahami'? Ternyata selama ini dominansi saya adalah 'mengetahui' dan hanya sedikit 'memahami'. Relung pemahaman di dalam jiwa saya semakin terkuak dalam 3 bulan terakhir.

Pada operasi saya yang pertama, saya berusaha tabah dan merenungi bahwa Allah pasti punya skenario lain yang jauh lebih indah bagi saya. Secara terus menerus saya gemakan pikiran ini ke dalam jiwa saya, melebur bersama kesedihan yang secara tak diundang tetap merasuki relung hati saya. "Meski sudah 4 tahun menikah, mungkin bukan ini saat yang tepat bagi saya dan suami untuk memiliki keturunan. Allah pasti memiliki skenario lain yang lebih indah." batin saya saat itu. Saya tetap berusaha berbaik sangka kepada Allah, dan mulai mendalami makna dari qadar baik dan qadar buruk.

Saat saya baru saja kecelakaan dan masih terbaring terbaring di tengah jalan raya, sembari berusaha menggerakkan tubuh dan justru malah mendapati lengan saya patah dan sudah melambai-lambai seperti kain yang diterpa angin, dalam tempo sepersekian detik pikiran yang terlintas di benak saya adalah "ya Allah...kenapa hamba lagi yang dapat musibah?". Pikiran itu kembali hadir saat saya mengetahui bahwa teman saya (yang memboncengi saya) ternyata tidak apa-apa, bahkan sepeda motornyapun tidak jatuh. Dzikir terus saya gumamkan untuk menghilangkan rasa sakit yang luar biasa, dan saya berusaha untuk terus berbaik sangka kepada Allah. Bukankah yang baik menurut manusia belum tentu baik menurut Allah? begitupula sebaliknya, yang buruk menurut manusia belum tentu buruk menurut Allah. 

"Tiada suatu bencana yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri, melainkan dia telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya" (QS. Al-Hadid:22)

Tinta pena telah mengering, lembaran-lembaran catatan ketentuan telah disimpan, setiap perkara telah diputuskan dan takdir telah ditetapkan. Maka, "Katakanlah: 'sekali-kali tidak akan menimpa kami, melainkan apa yang telah ditetapkan Allah bagi kami". (QS. At-Taubah:51)

Pahamilah makna ini maka kita tidak akan dilanda kesedihan, kebencian, dan penyesalan. Jika keyakinan ini tertanam kuat pada jiwa kita dan kukuh bersemayam dalam hati kita, maka setiap bencana akan menjadi karunia, setiap ujian menjadi anugerah, dan setiap peristiwa menjadi penghargaan dan pahala.

"Barangsiapa yang oleh Allah dikehendaki menjadi baik maka ia akan diuji oleh-Nya" (Al-hadits)

Jangan pula pernah berandai-andai, di dalam hadits disebutkan "Seandainya saja aku melakukan seperti ini, niscaya akan begini dan begini jadinya" tapi katakanlah "Allah telah menakdirkan, dan apa yang Dia kehendaki akan Dia lakukan" (Al-hadits).

Maka, mari bersahabat dengan Qadha' dan Qadar.
Salam

Cara Allah mengajari kita - Lesson learnt #1

Lesson learnt #1 : manusia berencana, Allah yang menentukan

Dalam rentang waktu kurang dari 3 bulan terakhir, saya telah mendapatkan pelajaran yang sungguh banyak dari Allah. Bayangkan, pada 6 april 2011 saya harus menjalani operasi laparotomi et causa kehamilan ektopik terganggu (operasi bedah perut karena hamil di luar kandungan). Operasi ini merupakan operasi yang harus sesegera mungkin dilakukan karena mengancam nyawa akibat banyaknya darah yang menumpuk di rongga perut. Operasi dilaksanakan dalam kondisi bius total dan berlangsung selama kurang lebih 2,5 jam. Saya mendapatkan perawatan di rumah sakit selama 4 hari. Proses operasi dan recovery alhamdulillah berjalan lancar.

Tepat 60 hari pasca operasi tersebut, saya kembali menjalani operasi. Kali ini saya mengalami kecelakaan lalu lintas dalam perjalanan menuju pengajian rutin mingguan. Saya menumpang sepeda motor teman, ia sungguh berhati-hati mengendarai motornya, ia ingin melindungi agar perut saya tidak sakit saat motor melaju di jalan yang tidak rata. Saat kami melaju di 'polisi tidur' ia mengurangi kecepatan motor, namun tiba-tiba dari arah belakang sebuah motor lain yang tidak mengurangi kecepatan menyenggol bagian belakang motor kami. Teman saya berusaha menyeimbangkan motor yang saat ini tidak stabil, walhasil saya terjerembab ke aspal, di tengah jalan raya!! singkat cerita, saya mengalami fraktur supra condiler humerus dextra + fraktur dentoalveolar (patah tulang lengan atas kanan di atas siku + patah gigi). Saya menjalani operasi lengan pada 5 juni 2011, operasi dilaksanakan dalam kondisi bius total dan berlangsung sekitar 4 jam. Saya menjalani perawatan di rumah sakit selama 9 hari dengan 'oleh-oleh' 8 buah wire / kawat yang tertanam di lengan kanan serta gendongan tangan yang menopang tangan kanan agar tetap berada pada posisi 90 derajat. Saat ini saya masih dalam masa recovery sembari melatih kemampuan tangan kiri dalam melakukan aktifitas sehari-hari.

Ditempa dengan cobaan yang bertubi-tubi ini membuat saya berfikir bahwa betapa besar kasih sayang Allah kepada saya dan keluarga. Saya sangat yakin bahwa Allah ingin mengajarkan banyak hal, dan saya mencoba untuk membuka mata hati menangkap pelajaran-pelajaran tersebut, dan insya Allah akan saya tuangkan secara berkala melalui tulisan-tulisan saya.

Untuk lesson learnt #1 ini, saya semakin paham bahwa ungkapan "manusia hanya bisa berencana namun Allah jualah yang akan menentukan" sangat benar adanya. Ada berbagai rencana yang telah saya dan suami rajut sebelum operasi saya yang pertama, perlahan rencana tersebut semakin berubah seiring dengan operasi yang kedua. Saya teringat suatu kisah di Al-Quran (QS.Al-Qalam:17-34). Pada surah tersebut diceritakan mengenai pemilik-pemilik kebun yang memiliki hasil kebun yang sangat menggiurkan. Mereka sangat yakin bisa memetik hasil kebun mereka, bahkan mereka bersumpah mereka akan dapat memetik hasil panen tersebut esok hari, mereka lupa menyebutkan "insya Allah". Pada keesokan harinya, mereka mengatur siasat agar tidak ada seorangpun yang dapat memasuki kebun mereka-terutama fakir miskin. Saat para pemilik kebun memasuki kebun mereka, mereka sungguh terkejut bukan kepalang mendapati bahwa tak satupun hasil kebun mereka yang bisa dipanen!! lalu salah seorang diantara mereka menyadari bahwa ini adalah akibat mereka lupa mengingat Allah.

Kisah ini saya rasa cocok untuk menggambarkan bahwa manusia bisa berencana tapi Allah yang menentukan. Fenomena yang berkembang saat ini pada masyarakat kita adalah penyebutan kata "insya Allah" justru menyiratkan ketidakseriusan terhadap sesuatu. misalnya ketika kita menerima undangan ke suatu acara tapi kita sebenarnya malas menghadirinya namun juga tidak ingin mengecewakan sang pemberi undangan maka kita akan segera mengeluarkan jurus "insya Allah". Namun berbeda halnya jika kita bersemangat untuk menghadirinya, kita akan segera berujar "pasti..pasti saya akan datang". Malah terdapat fenomena yang lebih menarik lagi, saat mendengar lawan bicaranya berujar insya Allah justru banyak orang yang akan menjawab "jangan insyaAllah-insyaAllah...yang pasti dong!". Demikian kira-kira ucapan yang sering kita lontarkan dengan tidak menghadirkan unsur "peran Allah" disana, dan saya yakin ada banyak lagi momen-momen lain saat kita lupa akan "peran Allah" ini.

Maka, mulai saat ini saya memberitahu otak saya untuk tidak lupa lagi menyebutkan kata "insya Allah" dalam setiap rencana saya, apapun itu. Insya Allah...

salam